Pilkada Sumenep
; Menolak Rutinitas
Oleh: Habibullah
Pemilihan umum secara langsung atas kepemimpinan politik nasional maupun lokal, adalah bentuk evaluasi berkala atas kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Proses ini menjadi bagian penting untuk melahirkan pemimpin terbaik dari yang terburuk dari hasil evaluasi publik secara menyeluruh. Baik dari segi kapabilitasnya, akseptabilitasnya, maupun kompetensi dari masing-masing calon pemimpin.
Tidak salah kiranya sebuah anggapan yang mengatakan bahwa; demokrasi tanpa pemilu, ibarat agama tanpa norma. Pemilu tanpa pemilih, ibarat perang tanpa pasukan.
Namun kemudian, yang menjadi persoalan adalah ketika pelaksanaan pemilu hanya menjadi rutinitas belaka. Di mana relasi kuasa makna yang dibangun antara politisi atau calon pemimpin dengan pemilih hanya sebatas aat pemilu saja.
Setelah momentum pemilu selesai, maka selesai semua apa yang terbangun antara pemilih dan yang terpilih. Hasilnya adalah pemimpin-pemimpin yang hanya dibutakan oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Yang tujuan utamanya, bukanlah untuk mewujudkan kualitas pemilu dan kehidupan pemilih lebih baik. Tapi malah sebaliknya. Sebab bagi mereka, pelaksanaan pemilu hanyalah ajang untuk memenuhi hasrat purba kemanusiaannya.
Di sini, posisi pemilih hanya dipandang sebagai penyumbang suara. Dan hanya dibutuhkan sebagai pengantar para politisi dan calon pemimpin menuju kekuasaan.
Politisi dan calon pemimpin yang demikian, berpotensi besar menyebar penyakit sosial dalam dunia politik, ekonomi, dan kebudayaan kita. Karena egoisme atas kepentingan pribadi dan kelompok menjadi prioritas mereka.
Dimensi tangggung jawab dari seorang politisi dan calon pemimpin kerap mereka abaikan. Dan realitas kehidupan sosial masyarakat sebagai pemilih, hanya menjadi objek untuk dipolitisasi.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peristiwa money politics, kecurangan, dan sebagainya dalam setiap momentum pemilihan pemimpin baik nasional maupun lokal. Ini menggambarkan betapa nurani mereka sudah tumpul dan sesat.
Dalam diri mereka, yang ada hanyalah bagaimana mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan. Sekalipun dengan cara licik dan picik, yang penting menang.
Menolak Rutinitas
Dengan pemilu yang sudah menjadi hal rutin karena merupakan kewajiban demokrasi. Bagi mereka, kepentingan umum cukup hanya sebatas dalam slogan dan janji di saat kampanye.
Selanjutnya mereka hanya akan berkutat soal bagaimana memenangkan dan mempertahankan kekuasaan. Serta mencari jalan untuk mendapat keuntungan dari kekuasaan.
Mereka tidak akan peduli dengan nasib pemilih setelah pemilu. Sebab bagi mereka, pemilu tak ubahnya arena lomba panjat pinang. Yang prinsip utamanya ialah, yang penting mencapai puncak sekalipun dengan kepala pemilih yang harus
diinjak.
Francis Fukuyama pernah mensifatkan demokrasi di Amerika sebagai democracy without of chest (demokrasi tanpa semangat). Hal ini dikarenakan, menurut Fukuyama, segalanya sudah menjandi rutin dan kehilangan elannya.
Maka dari itu, jangan sampai pemilu di alam demokrasi kita (khususnya pilgub, pilbup, dan pilwakot yang sudah di depan mata) hanya menjadi rutinitas semata.
Yang setelahnya, tak ada lagi hal berharga yang bisa diberikan untuk mewujudkan perubahan hidup dan kehidupan bagi rakyat sebagai pemilih dan pemilik kedaulatan (suara) politik.
Pilkada tidak boleh cukup hanya dengan melaksanakannya sebagai fungsi dari demokrasi semata. Pilkada harus menjadi momentum yang bisa memberi hal berharga bagi rakyat, yang ditandai dengan agenda-agenda tertentu dari waktu ke waktu.
Jangan sampai hak rakyat untuk hidup layak, dirampas hanya demi mengongkosi terpilihnya pemimpin dari politisi yang lahir dari rahim ambisi dan situasi kekuasaan.
Oleh karena itu, untuk memangkas ruang gerak serta beranak-pinaknya mereka dalam setiap momentum pilkada. Rakyat harus sadar, bahwa dalam pelaksanaan pemilu, hidup dan mati harus dijadikan taruhan saat memilih.
Karena dalam pemilu, tidak boleh hanya seperti memilih idola dalam ajang kontes dangdut. Yang setelahnya, pemilih tidak merasa bertanggung jawab atas pemimpin dan kekuasaan dari hasil pilihannya.
Terwujudnya pilkada yang tidak hanya sekedar rutinitas bagi sebuah peralihan kepemimpinan dan kekuasaan untuk para politisi. Harapan tetap ada pada diri pemilih, bagaimana cara mereka dalam memilih pemimpin pada pilkada mendatang.
Apakah pemilih akan memilih secara sadar atau akan semakin tidak sadar dalam memilih, hanya karena bujuk rayu dan transaksi politik yang pragmatis? Jawabannya bisa kita lihat dari hasil pilkada mendatang.
Sadar Memilih
Sebagai proses evaluasi terus menerus, pilkada mendatang menjadi momentum untuk mengukur sejauh mana kinerja partai dalam memberikan pendidikan politik terhadap pemilih.
Berfungsi tidaknya peran parpol bisa dilihat dari bagaimana pemilih ketika memilih pemimpinnya. Apakah pemilih akan semakin sadar dan rasional dalam memilih? Apakah akan semakin realistis-pragmatis dalam memilih?
Kalau cara pemilih masih seperti sebelum sebelumnya, yakni membunuh nurani demi menghidupkan perut. Dengan cara memilih yang memberi lebih besar, dan menerima yang memberi lebih kecil.
Maka benar adanya, bahwa partai memang tidak pernah menjalankan tugas, peran, dan fungsinya yang paling mendasar. Yakni memberi pendidikan politik bagi rakyat sebagai pemilih.
Keadaan tersebut bisa menjadi tolok-ukur paling efektif, untuk mengatakan bahwa partai belum berhasil memberikan pendidikan politik kepada pemilih.
Karena meski mekanisme pemilu mau berubah seribu kali, jika partai tidak pernah menjalankan peran dan fungsinya tersebut dengan baik. Maka pemilih tetap akan memilih dengan cara lama. Coblos yang uangnya lebih besar, dan lupakan kualitas calonnya.
Hal ini sama dengan cerdas memilih tapi tidak sadar dalam memilih. Sekarang pemilih tidak cukup hanya dengan cerdas dalam memilih, tetapi juga harus sadar dengan konsekuensi dari pilihannya.
Maka dari itu, menurut hemat penulis, yang dibutuhkan dan juga harus ditekankan bagi pemilih adalah, sadar dalam memilih dan memilih secara sadar.
Sadar bahwa dari hasil pemilu sebelumnya, pilihannya telah melahirkan pemimpin yang tanggung jawabnya terhadap pemilih tidak semanis janjinya saat kampanye.
Selanjutnya sadar bahwa sebagai pemilih, keadaan tidak boleh tetap pada lubang yang sama. Yaitu tetap berada pada taraf hidup dan kehidupan yang tak kunjung berubah.
Rakyat sebagai pemilih, memilihlah secara sadar dan sadarlah dalam memilih. Biar pelaksanaan pilkada mendatang tidak hanya menjadi rutinitas lima tahunan dari sistem yang bernama demokrasi.
Yang akhirnya, mementum pilkada sebagai proses evaluasi publik atas sebuah kepemimpinan. Hanya sekedar menjadi nyanyian sunyi bagi kepentingan parpol, politisi, dan penguasa di ruang yang bernama kekuasan.