Jejak Masalah Kepemimpinan Fauzi di Kabupaten Sumenep
Oleh: Gugun Ahmad
Sumenep, dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan kentalnya nuansa kearifan lokal, menyimpan potensi besar untuk menjadi daerah yang maju dan sejahtera. Sektor-sektor penunjang juga sudah mulai dibangun pemerintah pusat dan provinsi seperti bandara dan pelabuhan. Sumenep juga memiliki penciri lokalitas seperti pesantren dan warisan budaya seperti keraton.
Namun, harapan masyarakat akan perubahan yang lebih baik seringkali terbentur oleh berbagai permasalahan kompleks yang mengakar. Sumenep seperti diam di tempat, bahkan layak disebut, menuju kemunduran. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi Kabupaten Sumenep adalah kepemimpinan yang kurang efektif dalam mengelola potensi daerah dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Tahun 2024 ini, Kabupaten Sumenep juga akan menyambut Pilkada Serentak. Bupati incumbent periode 2021-2024, Fauzi, dipastikan akan kembali maju sebagai calon Bupati sumenep periode 2024-2029. Selama memimpin sebagai bupati, Fauzi mengusung visi “Sumenep Unggul, Mandiri dan Sejahtera”. Dalam salah satu misinya, ia secra ekplisit juga menyebut akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis hulu ke hilir, dan termasuk membangun infrastruktur berbasis lingkungan hidup yang berimbang antara daratan dan kepulauan.
Faktanya, selama periode kepemimpinannya, ia menyisakan jejak masalah yang kontradiktif dengan visi dan misi yang ia usung. Jejak tersebut cukup melekat bagi warga Sumenep, karena terkait langsung dengan kebutuhan dasar dan layanan yang ia berika selama memimpin. Berikut adalah sederet jejak masalah yang ia tinggalkan.
Pertama, kemiskinan dan kemiskinan ekstrim yang sangat tinggi. Sumenep menjadi Kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi di Jawa Timur. Dari sisi persentase, pada tahun 2024, Sumenep menempati urutan ketiga dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur dengan tingkat kemiskinan mencapai 17,7%. Posisi sebagai kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi tersetbu konsisten dialami Sumenep, setidaknya selama 3 tahun berturut-turut. Pada saat Fauzi dilantik menjadi Bupati pada tahun 2021, tingkat kemiskinan di Sumenep sebesar 20,51. Artinya selama kepemimpinannya, Fauzi hanya mampu menurunkan 2,81%.
Jika dilihat lebih dalam, persoalan kemiskinan di Sumenep memang sudah sangat parah. Bahkan menurut data BPS, pada tahun 2021 dan 2022, Kabupaten Sumenep menempati urutan pertama dari 38 kab/kota dengan persentase dan sekaligus jumlah penduduk miskin ekstrem tertinggi di Jawa Timur. Angka ini juga cenderung konsisten hingga saat ini.
Meski data Tingkat Pengangguran terbuka rendah, namun hal tersebut tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan. Warga yang ingin bertahan hidup dan mendapatkan penghidupan layak, harus rela merantau dan berpisah dari keluarganya. Bahkan inisiatif-inisiatif lokal seperti toko kelontong warga Sumenep di kota-kota besar juga tidak mendapatkan dukungan berarti dari Pemerintah Sumenep.
Kedua, ketimpangan pembangunan antara daerah kepulauan dan daratan. Sebagai kabupaten dengan jumlah wilayah kepulauan terbesar di Jawa Timur, pembangunan harusnya diarahkan untuk meminimalisir gap (ketimpangan) antar wilayah. Kepemimpinan Fauzi tidak cukup bisa mengatasi ketimpangan tersebut. Orientasi pembangunan di Sumenep masih terkonsentrasi di daratan. Ini menyebabkan layanan publik berkualitas sulit diakses di daerah kepulauan. Layanan dasar seperti rumah sakit, pendidikan dan transportasi yang setara dengan layanan publik di daerah daratan masih sulit dirasakan oleh penduduk kepulauan. Untuk berobat dengan kualitas layanan kesehatan baik sebagaimana di daerah daratan, warga kepulauan harus pergi ke Ibukota Sumenep yang jaraknya bisa puluhan jam dari kepulauan terluar Sumenep. Warga harus mengeluarkan biaya besar di perjalanan dan bahkan bertaruh nyawa di lautan untuk mengakses layanan dasar tersebut. Ketimpangan ini juga berulang kali disuarakan oleh warga dan pemuda kepulauan kepada pemerintah Sumenep.
Ketiga, permisif terhadap kerusakan lingkungan. Kasus kerusakan lingkungan juga turut mewarnai periode kepemimpinan Fauzi. Ia terlihat begitu permisif terhadap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan hidup di Sumenep. Ini terlihat dari masih beroperasinya banyak tambak udang di garis pantai Sumenep, baik yang legal-maupun ilegal, bahkan di kawasan yang menjadi destinasi wisata unggulan seperti pantai Lombang.
Yang terbaru ialah, revisi peraturan daerah (Perda) nomer 6 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sumenep 2023-2043, yang salah satunya berkenaan dengan titik atau lokasi penambagangan fosfat di Sumenep. Revisi ini sudah mendapatkan persetujuan kementerian. Wajah permisif ini semakin ditunjukkan dengan langkah agresif pemda Sumenep yang akan melanjutkan ke tahap pembahasan rencana detail tata ruang (RDTR).
Keempat, permisif terhadap pembangunan pusat hiburan yang mengabaikan identitas Kota Santri. Membangun pusat hiburan di kantong wilayah santri, selain tidak perlu, juga tidak memiliki sensitifitas terhadap lokalitas setempat. Pembangunan pusat hiburan seperti diskotik dan tempat karaoke yang tidak terkontrol justru berpotensi menghadirkan suasana kebatinan dan iklim yang tidak harmonis dengan identitas Sumenep yang identik dengan pusat-pusat tradisi pesantren. Ini juga seperti mendelegimitasi marwah Sumenep sebagai kota Santri.
Bagaimana menyikapi?
Belajar dari kepemimpinan sebelumnya, warga Sumenep tentu harus lebih cerdas lagi dalam memilih calon pemimpin ke depan, alih-alih masuk ke kubangan yang sama dua kali. Momentum Pilkada adalah momentum yang tepat untuk menghukum pemimpin yang tidak pro terhadap kepentingan warga. Sumenep membutuhkan pemimpin yang mampu membaca dan memiliki komitmen untuk menyelesaikan persoalan krusial seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, ketimpangan daratan-kepulauan, dan yang tak kalah penting pembangunan yang berbasis pada identias lokal, yaitu pesantren.